Dengan perkiraan jumlah mencapai 30% dari keseluruhan pemilih, kaum muda
dirasa memiliki kekuatan signifikan dalam Pemilu 2014 mendatang. Meski
demikian, ternyata ada sejumlah pemilih yang justru belum banyak
tersentuh. Merekalah para mahasiswa perantauan.
Jumlah mahasiswa
yang menimba ilmu di perantauan memang tidak bisa dibilang sedikit.
Mereka tersebar di berbagai kota besar maupun kecil di Indonesia. Selama
ini, antusias pemilih perantau memang bisa dikatakan kurang
dibandingkan pemilih yang lain. Sebabnya sebenarnya masuk akal. Tentu
berat bagi mereka untuk pulang ke kampung halaman untuk mengurus surat
pindah atau mencoblos langsung.
Karena itu, banyak yang
kehilangan semangat dan jadi apatis. Mereka merasa hak pilihnya tidak
terlalu penting dan masuk ke kategori golongan putih (golput). Namun,
benarkah mahasiswa perantauan sulit menyumbangkan suaranya? Untuk
menjawab hal itu, GEN SINDOmenanyakan langsung problem ini kepada
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sigit Pamungkas. Ternyata
solusinya sudah ada.
Para perantau kini bisa menggunakan hak
pilih di tempat di mana mereka tidak tercatat. Menurut Sigit, ada dua
solusi yang ditawarkan. Solusi pertama adalah perantau dapat menggunakan
bantuan keluarga untuk mengurus surat pengantar pindah. Adapun kedua
adalah menggunakan sistem kolektif dalam mengurus rantau di KPU daerah.
Namun, sebelumnya mahasiswa harus mengecek lebih dulu, apakah mereka
sudah terdaftar sebagai daftar pemilih tetap (DPT) atau belum.
“Sebagai langkah awal, mahasiswa tersebut diharapkan terlebih dahulu mengecek di website www.data.kpu.go.id,apakah
dirinya terdaftar di dalam DPT atau tidak. Dengan memasukkan NIK KTP,
akan keluar data diri berikut tempat TPS memilih nanti,” sebut Sigit.
Dalam tahap pengurusannya, langkah yang ditempuh perantau jika ingin
mengurus secara personal, yakni mengurus surat pengantar perpindahan di
Panitia Pungut Suara (PPS) tempat dia berasal.
Dengan menempuh
langkah ini, perantau masuk ke dalam daftar pemilih tambahan (DPTb).
“Namun, perantau tidak perlu repot untuk kembali ke tempat asalnya.
Perantau bisa melakukan komunikasi dengan keluarga yang ada di daerah
asal untuk mengurus surat perpindahan tersebut,” kata Sigit.
Selanjutnya, surat itu disampaikan di PPS tempat ia merantau, yakni
kelurahan setempat. Langkah ini bisa dilaksanakan sampai tiga hari
sebelum pemilu.
Solusi kedua lebih mudah, yakni menggunakan
sistem kolektif. Caranya, masyarakat rantau bisa ramairamai datang ke
KPU daerah, tempat dia berada. Pemilih cukup menunjukkan kartu identitas
dan mengisi surat pernyataan pindah menggunakan hak pilih. Dari situ,
maka biarkan KPU daerah yang berkoordinasi dengan KPU pusat untuk
membantu pengurusan pindah. Nantinya ada barter data pemilih.
Dari
yang sebelumnya perantau terdaftar di daerah asal, setelah mengurus
berbagai persyaratan, dia dapat terdaftar di tempat dia berada. Untuk
selanjutnya, PPS-lah yang mendistribusikan tempat perantau mendapat
TPS-nya. Salah satu mahasiswa yang merantau di Jakarta, Lely Natalia,
menilai bahwa program KPU ini cukup meyakinkan dirinya untuk tidak
menjadi golput di Pemilu 2014.
Menurut dia, sistem kolektif
lebih memudahkannya dalam mengurus perpindahan untuk nyoblos. ”Kalau
untuk mengurus surat pengantar di PPS Banten, tempat saya berasal
tersebut, sepertinya tidak sempat. Maka saya ambil jalur kolektif yang
dapat langsung diurus sendiri di tempat saya merantau,” katanya.
Pada
akhirnya Sigit mengimbau kepada seluruh anak muda, khususnya perantau,
untuk turut memberi kontribusinya pada Pemilu 2014 ini. ”Pada
penyelenggaraan pemilu bulan depan, saya mengimbau kepada semua anak
muda, khususnya perantau, untuk memperbaiki kualitas demokrasinya sama
halnya dengan tujuan awal merantau, yakni memperbaiki kualitas dirinya,”
tutur Sigit.
Apabila ada hal yang menjadikan mereka sulit untuk
mengurus perpindahan daftar pemilih, Sigit mengimbau agar mereka dapat
mengurus dari jauh hari. Jika pada akhirnya anak rantau telah selesai
dengan urusan prosedur pendaftaran, mereka masih juga merasa ragu untuk
memilih calon anggota legislatif (caleg) yang ada. Itu karena KPU
mengharuskan untuk memilih caleg yang berasal dari tempat ia tinggal
sekarang.
Padahal, biasanya mereka punya tujuan dengan memilih
caleg, dapat memberikan kemajuan daerah asal masing-masing. Sebab,
memiliki dampak jangka panjang, tidak hanya untuk dirinya, juga untuk
keluarga. Sementara, apabila memilih caleg yang disesuaikan dengan
tempat tinggal sekarang, konsekuensi mereka belum tentu akan merantau
dalam tempo yang lama sehingga hanya berdampak untuk jangka pendek.
Hal
lain yang masih jadi kendala soal Pemilu 2014 adalah akses untuk
mengetahui informasi setiap caleg yang kurang terfasilitasi. Dalam
lingkup wilayah di Indonesia saja masih banyak ketimpangan dalam
mengelola data setiap caleg. Jadi, dapat dibayangkan, teman-teman kita
yang merantau di luar negeri lebih mengalami kesusahan untuk
mengeksplorasi visi dan misi para caleg.
”Kami di sini
mengusahakan membuat media yang dapat dilihat banyak orang untuk menjadi
ajang kampanye para caleg ke masyarakat Indonesia yang bukan hanya di
luar negeri, juga untuk yang di dalam negeri,” papar Faldo Maldini,
mahasiswa Indonesia yang kini sedang menempuh studi di Imperial College
London, Inggris Namun, kebanyakan dari mereka tidak memberikan respons
baik. Ada beberapa yang mau ditanya, namun kurang memberikan jawaban
yang sesuai.
Sementara, lainnya tidak mau menjawab pertanyaan
melalui media sosial dan lebih memilih melalui e-mail. Apa pun kendala
yang dihadapi anak rantau untuk menyuarakan demokrasi di ajang Pemilu
2014 di wilayahnya masing-masing, hal yang paling penting adalah jangan
sampai anak rantau jadi golput.
Karena kalau tidak memperbaiki
kebijakan sekarang dengan memilih anggota legislatif, kapan lagi
kebijakannya bisa jadi baik? *DEASY AMALIA, NILA AISYARAH NIHAYA
LASTARI, RIRIN YULIANTI, RABIA EDRA
Dimuat di Koran SINDO pada Sabtu, 8 Maret 2014 Halaman 8
LINK: http://koran-sindo.com/node/373367
Deasyyy, Copaste yaa. gue baru aktifin blog gue lagii. nilasyara.wordpress.com hhehe
ReplyDeleteSilakan buuk :3
Delete